Pemerintah akan menerapkan sistem baru penyaluran pupuk bersubsidi kepada para petani. Sistem yang dipilih secara tertutup dan berlaku mulai Januari 2009.
Tentu kita berharap sistem baru ini benar-benar dapat menjadi jaminan bahwa kelangkaan pupuk bersubsidi saat memasuki masa tanam tidak lagi menjadi ‘bumerang’ bagi para petani.
Sistem baru ini seperti yang dipaparkan Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya sudah disosialisasikan pemerintah sejak 2008. Penyaluran melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK), sesuai Permentan Nomor 73/Permentan/OT.140/12/2007, tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET), terhadap pupuk bersubsidi dan Permentan Nomor 42/Permentan/OT.140/9/2008, tentang kebutuhan dan HET pupuk bersubsidi untuk pertanian pada 2009.
Sistem ini berdasarkan pesanan pupuk yang disusun atas dasar kebutuhan pupuk bersubsidi oleh kelompok tani, yang telah disetujui oleh petugas teknis, penyuluh atau kepala cabang dinas, dan harus ditebus ketika pupuk sudah tersedia di kios-kios pengecer. Pengecer hanya dapat menyalurkan pupuk bersubsidi kepada petani atau kelompok tani di wilayah tanggung jawabnya. “Demikian pula setiap distributor. Masing-masing telah memiliki wilayah tanggung jawab sendiri, sesuai kontrak,” kata Christiandy.
Kita melihat, sistem ini masih ada rentang birokrasi yang panjang dan cukup ‘memakan’ waktu untuk mendapatkan bahan penyubur tanah dan tanaman tersebut. Jalur yang panjang bila tidak diawasi secara melekat akan membuka ‘jalur’ KKN yang berbelit dan korbannya tentulah petani.
‘Jalur berbelit’ tersebut bisa saja dengan memperpanjang waktu mengeluarkan persetujuan petugas teknis, penyuluh atau kepala cabang dinas ataupun menaikkan harga jual di kios pengecer ataupun distributor dengan alasan biaya akan dan sebagainya.
Ini bisa saja sebagai cara untuk mendapatkan ‘jatah’. Jatah yang akan mengurangi pemenuhan kebutuhan petani ataupun jatah ‘bertambah’ yang selisihnya untuk pihak-pihak berkeinginan ‘mencicipi’nya.
Malangnya lagi, bila petani para petani atau kelompok tani, harus terdaftar di instansi terkait dan membuat RDKK dan jika petani tak terdaftar dan tak membuat RDKK, mereka tidak akan kebagian pupuk bersubsidi.
Petani jelas sangat tergantung dengan pupuk bersubsidi ini mengingat tanpa ‘penyubur’ ini produksi gabah yang dihasilkan akan menurun dan kualitasnya kurang baik.
Kelangkaan pupuk sendiri selama ini karena tingginya disparitas kebutuhan riil di lapangan dengan alokasi yang disediakan, disparitas harga yang cukup tinggi antara pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi dan distribusi yang tidak terkendali.
Untuk faktor ketiga, pemerintah bisa saja mengurangi peran distributor dan sebagai gantinya, peran perangkat daerah, seperti bupati/wali kota, camat hingga lurah atau kepala desa, lebih dioptimalkan. Peran distributor dapat dikurangi perlahan-lahan dengan memperkuat pengawasan internal hingga tingkat pengecer.
Kita berharap sistem ini bisa meringankan petani untuk pemenuhan pupuk dan pemerintah harus segera menyiapkan sumber daya manusia di tingkat petani sehingga mereka dalam menyusun RDKK tidak mengalami kendala dan mampu pupuk tepat waktunya. Semoga
29 Desember, 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar