Bendungan Situ Gintung menjadi perhatian bangsa ini, bahkan dunia internasional. Situ yang berada di Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan ’mengamuk’ Jumat (27/3) kemarin dan meluapkan airnya hingga menelan 97 korban jiwa.
Bukan hanya itu saja, ratusan rumah, harga benda dan fasilitas umum hancur berantakan. Bencana ini juga mengingatkan kita akan tsunami yang meluluhlantakan provinsi Aceh Nangroe Darussalam beberapa tahun lalu termasuk banjir yang setiap tahun di kabupaten/kota di Kalimantan Barat ini.
Bencana-bencana alam yang kerapkali terjadi ini tentunya menjadi pelajaran yang sangat berharga dan membuat kita sadar untuk terus menjaga, merawat dan melestarikan alam beserta lingkungannya. Setidaknya, bila upaya-upaya tersebut kita lakukan dampak-dampak kerusakan bisa diminimalisir.
Banjir dan longsor berkaitan erat dengan kondisi hutan. Perpohonan yang bernilai ekonomis dengan lingkar batang besar terus saja ditebang bahkan baru saja menjadi ’tunas’ sudah dipangkas untuk dijadikan ’cerucuk’ dengan alasan demi pembangunan.
Bukan itu saja, penebangan liar masih saja terjadi, sedangkan pelaku illegal logging yang jelas-jelas terbukti mendapatkan hukuman ringan, bahkan bisa bebas. Areal yang sebelumnya ditetapkan sebagai kawasan hutan maupun konservasi dikonversi ’disulap’ menjadi kawasan perumahan maupun perkebunan. Ini jelas memperparah dan mempersempit kawasan serapan air.
Mari kita sadari, bencana-bencana alam yang kerap terjadi tersebut merupakan akibat ulah kita sendiri. Sebagai mahluk Tuhan, kita tidak mampu menjaga bumi yang dititipkanNya. Tepatnya lagi, ini tidak terlepas dari ulah-ulah segilintir orang. Orang-orang yang hanya ingin mendapatkan keuntungan sendiri, kelompok maupun bisnisnya dengan mengorbankan kepentingan orang banyak.
Sudah banyak contoh bencana yang dianugrahkan Tuhan kepada kita, apakah kita masih ingin musibah itu terus berlanjut? Kalau tidak, mari kita jaga bumi ini.
07 April, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar