Syahdan, di negeri para binatang di rimba hutan belantara sedang dilakukan rapat akbar pemilihan pemimpin. Ini dilakukan mengingat sang raja Singa mengundurkan diri karena keropos oleh usia.
Pemilihan berlangsung demokratis. Di wilayah hutan satu ini, tidak mutlak rajanya harus Singa, binatang kecil seperti semutpun bisa menjadi raja. Hasil pemungutan suara yang sudah dilakukan terpilihlah ‘Banteng’ sebagai raja berikutnya.
Banteng ingin dirinya menjadi raja yang disayangi rakyatnya. Ia ingin semua binatang harus mengenal dirinya. Usai dilantik, Banteng langsung memanggil pimpinan burung ‘Keroco’— jenis burung Punai tanah. Ia menugaskan pimpinan Keroco untuk memilih dua anggotanya yang terbaik untuk mengikuti dirinya setiap waktu.
Keroco-keroco tersebut harus memiliki keahlian bercerita dan mampu mempengaruhi binatang yang lainnya melalui kicauan. Sang pemimpin Keroco pun mengutus Keroco Merah dan Keroco Hijau untuk mendampingi Banteng mengeliling hutan belantara.
Keroco merah memiliki keahlian menggambarkan dengan detail apa saja yang dilakukan dan Keroco Hijau punya keahlian menceritakan sesuatu kejadian dengan lengkap dan enak didengar.
Awalnya, kedua Keroco ini bagus melaksanakan tugas. Mereka memuaskan sang Banteng dan para binatang pun semakin mengenal rajanya. Raja puas, pimpinan Keroco pun senang. Apapun yang diminta kedua anak buahnya tersebut, dipenuhi sang pemimpin.
Kondisi ini ternyata jadi aji mumpung bagi kedua Keroco tersebut. Mereka terus ’membusungkan’ dada di hadapan penghuni hutan lainnya begitu juga dengan para Keroco lainnya. Terkadang main perintah melebihi kapasitas pimpinannya. Bila tidak diikuti, mereka selalu mengatakan ini perintah dan permintaan ’Raja Banteng’ maupun pimpinan Keroco.
Selang beberapa waktu, belang kedua Keroco ini mulai tampak. Sang Banteng berang, sejumlah rakyat tak mengenalnya. Usut punya usut, kedua Keroco ini ternyata jarang sekali berkicau lagi. Masing-masing lantas dipanggil raja Banteng dalam waktu berbeda.
Oooh, ternyata, kedua Keroco ini saling menjelekkan satu sama lain. Bukan itu saja, sejumlah nama binatang pun dibawa-bawa. Mereka mengaku para binatang membencinya bila berkicau tentang Banteng. Banteng pun memanggil pimpinan Keroco. Ia berang dan mengancam akan meninggalkan pasukan Keroco. Jelas ini membuat ketar-ketir pimpinan burung Punai Darat tersebut. Sejumlah senior Keroco pun dipanggil.
Rapat akbar para Keroco pun digelar. Pimpinan Keroco meminta pendapat para senior. “Maaf pimpinan, Anda bila kami sampaikan mengenai persoalan kedua Keroco ini, selalu mengatakan ya sudah itu urusan saya. Kedua Anda memberikan fasilitas yang berlebihan kepada mereka. Ketiga, akibatnya mereka dengan mudah menggunakan dan menjual nama Anda bahkan nama Raja Banteng sekalipun untuk menakut-nakuti kami, keempat mereka suka menjelek-jelekan pasukan Keroco lainnya bila tidak mendengarkan kicauannya, dan terakhir mereka memang selama ini sudah tidak pernah berkicau. Kalau Anda mau, ini semua tergantung Anda. Sekian terimakasih,“ tukas Keroco Hitam keras dan tegas.
Rapatpun mentok. Sikap para senior jelas, persoalan semuanya berawal dari sikap pimpinan Keroco yang memberikan fasilitas berlebihan kepada kedua Keroco tersebut bahkan kesalahan yang telah disampaikan tidak pernah ditanggapi dengan tindakan tegas dan tanpa penyelesaian, tinggal sikap pimpinan Keroco, mau tegas atau ’ditampar’ dua kali oleh dua Keroco tersebut.
Rapat lantas bubar seiring bunyi kicauan yang kuat dari burung Hantu. “Awas ada pemburu“. Tak lama kemudian terdengar letupan senapan. Duar, duar. “Oooiii, aku dapat burung Punai nih, warna merah dan hijau,“ teriak seorang wartawan yang ikut berburu. Tamatlah kisah kedua Keroco tersebut dan tidak perlu mendapatkan putusan pimpinannya.
15 April, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar