Hasjim Djalal (75 tahun), diplomat kawakan Indonesia ini, di kalangan dunia internasionl dikenal sebagai pakar hukum laut internasional.
Hasjim bersama Mochtar Kusumaatmaja, Menteri Luar Negeri Indonesia periode 1978 – 1988, dicatat sebagai arsitek United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau konvensi hukum laut internasional yang disahkan PBB pada 10 Desember 1982.
”Konvensi hukum laut internasional adalah mengembangkan teori bahwa satu negara yang terdiri atas kepulauan, dianggap satu, dan menyatukan seluruh perairan di dalamnya sebagai wilayah nasionalnya,” ujar Hasjim.
UNCLOS menggariskan sebuah negara kepulauan seperti Indonesia, Filipina dan Singapura menarik batas laut sejauh 200 mil dari pinggir pantai pulau terluar, sedangkan negara pantai biasa seperti Thailand dan Malaysia, hanya boleh menarik batas laut sejauh 12 mil dari pinggir pantai.
Sebelum UNCLOS diberlakukan, wilayah laut antar-pulau di Indonesia, masih berstatus perairan tidak bertuan, sehingga sulit diawasi, dan rawan terhadap infiltrasi asing. Pada 13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda mendeklarasikan laut antar-pulau, adalah wilayah Indonesia. Ini ditantang seluruh dunia, terutama Amerika Serikat, Jepang, dan Australia.
Tindakan Indonesia dianggap ’merampok’ laut. Tapi Hasjim Djalal tetap bersikukuh bahwa itu merupakan hal yang sangat vital bagi kesatuan dan masa depan bangsa Indonesia.
Pada Konferensi PBB tahun 1973, Hasjim Djalal sangat aktif menggalang kerjasama dengan negara kepulauan seperti Filipina, Fiji, dan Mauritius.
Paling mengesankan, berkat argumentasi Hasjim, konsep negara kepulauan disetujui Jepang ketika Presiden Soeharto berkunjung ke Tokyo tahun 1975. Persetujuan kemudian disusul Amerika Serikat dan Australia.
Pada sidang ke-VI PBB di New York, Mei - Juli 1977, konsepsi kepulauan nusantara telah dimasukkan ke dalam naskah Informal Composite Negotiating Text (ICNT), yakni di Bab IV yang berjudul negara kepulauan, sebanyak 9 pasal (pasal 46-54)..
Hasjim Djalal yang sepenuhnya didukung Mochtar Kusumaatmadja sebagai Menteri Luar Negeri, secara lebih intensif mempertajam materi pembahasan ICNT di sidang paripurna, 30 April 1982. Ini pula yang membuat UNCLOS yang disahkan PBB pada sidang paripurna 10 Desember 1982, murni perjuangan keras diplomat Indonesia.
Hasjim mengingatkan semua pihak akan konsekuensi geopolitik Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemahaman memadai akan geopolitik, sebagai wujud tanggungjawab dan inisiatif tinggi pemerintah pusat terhadap penanganan isu perbatasan internasional. Masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas.
Pulau terluar, kata Hasjim, tidak sebatas aspek ekonomis, tetapi terpenting aspek politis terkait batas wilayah dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penanganannya harus lintas departemen.
Di usia senja, Hasjim Djalal, kelahiran Bukit Tinggi, Provinsi Sumatera Barat, 25 Februari 1934, masih terlihat energik. Daya ingatnya terhadap perjalanan karir diplomatiknya masih sangat bernas.
Sejak muda Hasjim memang sudah bertekad menjadi diplomat. Tamat Sekolah Menegah Atas di Bukittinggi, 1953, Hasjim melanjutkan studi di Akademi Dinas Luar Negeri, Jakarta. Tamat tahun 1957, salah tugas berat Hasjim adalah ditugaskan sebagai perwakilan tetap Indonesia pada United Nations Temprorary Executive Administration (UNTEA) di Papua, dalam persiapan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Hasjim kemudian tertolak ke Amerika Serikat, melanjutkan studi di University of Virginia dan tahun 1961 berhasil mempertahankan disertasi doktor berjudul: “The Limit and Territorial Sea in International Law”.
Pulang ke Indonesia, Hasjim dipanggil Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana TNI Martadinata, bertukar pikiran, karena materi disertasinya dianggap sebagai inspirasi penting pemerintah dalam mengelola wilayah laut.
Karir Hasjim terus menanjak di Departemen Luar Negeri, setelah ditunjuk menjadi Duta Besar di PBB (1981 – 1983), Dubes Canada (1983 – 1985), Dubes di Jerman (1990 – 1993). Hasjim pensiun dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) tahun 1994. Tapi setahun sebelum pensiun, 1993, Hasjim ditunjuk menjadi Dubes Keliling yang hingga tahun 1998.
Dalam mendidik anak-anaknya, suami Djurni Hasjim ini terbilang demokratis. Anak-anaknya diserahkan menentukan jalan hidupnya sendiri. Anak tertua, Iwan Djalal, memilih menekuni dunia wiraswata sebagai salah satu eksekutif perusahaan swasta.
Anak kedua, Dino Pati Djalal, bekerja sebagai PNS dan Direktur Urusan Amerika Utara dan Tengah Departemen Luar Negeri, dan sampai sekarang Jurubicara Luar Negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Si bungsu, Dhini Djalal, memilih profesi sebagai wartawati. Pernah berkali-kali meliput kerusuhan antar etnis di Kalimantan Barat tahun 1996 – 1998, ketika bekerja di salah satu stasiun televisi di Singapura. Setelah menikah, Dhini masih tetap sebagai wartawati dan menetap di Amerika Serikat.
Sampai pensiun, Hasjim masih aktif menulis, rajin olahraga menjaga kesehatan, membimbing mahasiswa dan aktif memberi ceramah di dalam dan luar negeri tentang hukum laut internasional. Di antara buku populer Hasjim: Indonesian Struggle for the Law of the Sea (1979), Indonesia and the Law of the Sea (1995), Preventive Diplomacy in Southeast Asia: Lesson Learned (2003).
***
Hasjim berada di Pontianak, sebagai narasumber sosialisasi hukum maritime tahun 2009 dengan tema “Konsekuensi Geopolitik Indonesia Sebagai Negara Kepulauan” pada Senin, 23 Maret 2009.
Sosialisasi kerjasama Stasiun Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalbar dan Forum Diskusi Jurnalis Kalimantan Barat.
Nara sumber lain yang sudah menyatakan kesiapan hadir adalah:
DR Ir Aji Sularso MMA, Direktur Jenderal Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Narmoko Prasmadji SH, MA, Staf Ahli Bidang Hukum Menteri Kelautan dan Perikanan
Perspektif Implementasi Hukum Kelautan dan Perikanan
DR Ir Alex SW Retraubun, Direktur Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nasri Gustaman, Direktur Konsuler Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri Republik Indonesia
Marhaban Ibrahim, Kepala Subdirektorat Batas Antar Negara, Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan Direktorat Jenderal Pemerintahan Umum Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia
07 April, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar