Pedagang kaki lima (PKL) semakin terjepit saja wilayahnya. Ya, sejak dulu sector riil ini harus menerima kodratnya untuk digusur.
Di satu sisi, sector ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan mampu memenuhi kebutuhan keluarga pelaku dunia usaha ini. Namun di satu sisi, sector ini sering terkesan membuat keindahan kota terganggu, kotor dan macet.
Bagi PKL ini lahan mereka untuk penghidupan, ini urusan perut dan masa depan anggota keluarganya. Sedangkan bagi pemerintah, ini harus ditertibkan, aturan harus ditegakan. Bila bersikukuh, ya digusur.
Di balik kodratnya, ternyata PKL punya insting bisnis yang sangat besar. Mereka mampu membaca wilayah yang strategis untuk berdagang, bahkan jenis dagangan apa saja yang laku dijual. Soal modal, mereka tak perlu merepotkan orang lain, ya namanya pedagang kecil, modalnya kecil-kecilan dulu. Toh bisa kita lihat sendiri, semakin digusur, lapak-lapak PKL terus tumbuh dan tersebar dimana-mana.
Saat ini, penggusuran PKL semakin hari semakin ngeri melihatnya. Di Jawa Timur, hingga merenggut nyawa seorang bocah yang tersiram kuah bakso dagangan orangtuanya di kala menghindari penertiban. Di sejumlah daerah di Indonesia lainnya, bentrok tak terhindar hingga jatuh korban luka-luka.
Sementara di Sungai Raya Dalam, sejumlah pedagang berusaha memberikan perlawanan dengan membawa sebilah kayu. Syukurlah, kala itu bentrok bisa diredam dan dihindari sehingga tidak perlu jatuh korban.
PKL selalu menjadi simalakama. Pertemuan-pertemuan untuk mencari solusi sering tidak mencapai titik temu. Pemindahan lokasi berdagang pun ternyata bukan solusi tepat. Pasalnya, lokasi baru terkadang sepi pembeli dan membuat PKL tak bertahan. Bahkan, lokasi baru terkadang di isi PKL-PKL baru, sedangkan yang tertibkan malah tidak mendapatkan tempat.
Selain itu, penertiban terkesan pilih kasih. Ada wilayah-wilayah PKL yang tidak ditertibkan. Ini memancing dan menimbulkan rasa cemburu serta berkurangnya kepercayaan kepada pemerintah.
Ya, itulah fenomena yang ada. Bila tidak tepat menanganinya, PKL akan tetap menjadi masalah bagi wilayah perkotaan. Di sini diperlukan kebijaksanaan, pemahaman dan saling membantu antara pemerintah dan PKL sendiri, sehingga kota tetap indah, lalu lintas lancar dan PKL bisa berdagang.
Berdagang tentu tidak asal menjual dagangan, setidaknya berada di lokasi yang mudah dijangkau dan ramai pembeli, tidak menganggu ketertiban umum. Toh menjadi PKL tidak perlu harus membuat lapak-lapak menetap yang memberikan kesan kumuh, bisa saja dengan system lepas pasang atau gerobak dorong.
Bila sudah masuk jam berdagang, PKL memasang lapak-lapaknya atau mendorong gerobak. Bila sudah habis masa berdagang, semuanya harus bersih. Bersih dari lapak-lapak, sampah, kotoran maupun bersih dari kesan kumuh. Semoga kita menjadi arif menyelesaikannya.
29 Mei, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar