Iklan konversi dari minyak tanah ke gas elpiji atau LPG (Liquified Petroleum Gas) gencar dilakukan pemerintah di sejumlah stasiun televisi. Iklan ini pun diperan sejumlah pelawak yang menggambarkan kemudahan, hemat dan keamanan menggunakan gas dengan tabung 3 kg tersebut.
Untuk terus menyukseskan program pemerintah ini, Pertamina terus melakukan penambahan fasilitas distribusi dan penimbunan LPG dengan penambahan storage (penimbunan), kapal tanker, kapasitas filling station (pengisian LPG) dan kapasitas skidtank (mobil tangki pembawa LPG). Di Kalbar sendiri, program ini telah dilaunching dengan menyerahkan tabung-tabung 3 kg kepada ‘warga’ oleh Gubernur Kalbar beberapa waktu lalu.
Bagi masyarakat perkotaan yang sudah ‘ramah’ dengan bahan bakar yang pada suhu kamar, akan berbentuk gas ini, mereka akan senang. Mereka akan mendapatkan tabung yang hemat dan praktis. Tabung kecil ini tidak memakan tempat, tidak sulit diangkut dan harganya murah.
Namun bagaimana dengan masyarakat di pedesaan? Masyarakat yang belum ‘tersentuh’ sosialisasi dan tidak memiliki kemampuan secara ekonomi untuk membelinya?.
Mau tidak mau, walaupun secara bertahap, konversi ini sudah masuk Kalbar. Bahkan, informasinya, storage dan filling station khusus untuk tabung 3 kg sudah selesai dibangun.
Seorang teman, dari Kabupaten Kubu Raya—kabupaten yang berbatasan langsung dengan ibukota provinsi—ini mengeluh. Ia dengan suara jelas menyatakan masyarakat kabupaten termuda tersebut belum siap menerima program pemerintah ini.
Bagi masyarakat yang tinggal di Kota Sungai Raya, Rasau Jaya dan Sungai Kakap, mungkin penggunaan gas ini tidak asing lagi. Namun bagaimana dengan yang ada di pelosok desa di Teluk Pakedai, Terentang, Ambawang, Kuala Mandor, Batu Ampar dan Kubu?
Bagi masyarakat di daerah terpencil tersebut, minyak tanah bukan hanya untuk proses masak memasak atau goreng mengoreng, tapi fungsi bahan bakar yang akan digantikan ini sangat besar. Selain masak memasak, minyak tanah juga digunakan untuk penerangan di kala malam mengingat kampung mereka tidak dialiri listrik, alat untuk menghidupkan kayu bakar, menghidupkan genset dan lain sebagainya. Fungsi-fungsi ini sulit tergantikan oleh elpiji.
Kerisauan terhadap konversi ini wajar adanya. Bukan mencari suatu bentuk perhatian, tapi inilah kondisi nyata di daerah, kondisi yang memang benar-benar harus diperhatikan pemerintah, kondisi yang harus dicarikan jalan keluarnya sering dengan program yang akan dilaksanakan.
Maklum saja, untuk penerangan di Kalbar khususnya di perkotaan, pemerintah tak mampu memberikan pelayanan optimal. Untuk mengatasi listrik yang suka hidup padam saja sudah tujuh keliling pusingnya, apalagi memasok aliran listrik baru ke pelosok-pelosok desa yang nantinya merasakan konversi gas? Ya itulah nasibnya rakyat yang harus bersabar, bersabar dan bersabar. Semoga pemerintah juga memberikan dan memenuhi solusi bagi dampak ikutan dari program konversi ini. Semoga.
29 Oktober, 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar